Menurut
Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, Hukum Pajak mempunyai kedudukan diantara hukum-hukum
sebagai berikut :
- Hukum Perdata yaitu hokum yang mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya.
- Hukum Publik yaitu hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum public ini terdiri dari : Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha ( Hukum Administrasi ), Hukum Pajak dan Hukum Pidana.
Dengan demikian kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum public.
Bila
didefinisikan Hukum Pajak adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan
antara pemerintah dengan rakyat atau wajib pajak. Pemerintah sebagai
pemungut pajak dan wajib pajak atau rakyat sebagai pembayar pajak. Hukum pajak
sering juga disebut dengan hukum fiscal ( Brotodihardjo,1986 ), karena istilah
pajak sering disamakan dengan istilah fiscal ( yang artinya kantong uang / keranjang
uang yang selanjutnya disebut sebagai kas negara ). Dari kata fiscal tersebut
maka pihak pemerintah sebagai pemungut dan mengadministrasikan pajak disebut
sebagai aparat pajak atau dalam bahasa latin disebut fiscus, dan dalam bahasa
Indonesia disebut dengan fiskus.
Hal-hal yang
diatur dalam hokum pajak antara lain meliputi : siapa subyek pajak atau wajib
pajak, apa kewajiban wajib pajak, apa hak negara/pemerintah, apa obyek yang
dikenakan pajak, berapa taripnya, bagaimana cara penagihan pajaknya, apa sanksi
bila tidak memenuhi kewajiban dan lain-lain.
Hukum pajak
menganut “ paham imperative “ yang artinya bahwa pelaksanaan pemungutan pajak
tidak dapat ditunda. Misalnya terjadi pengajuan keberatan terhadap pajak yang
telah ditetapkan oleh pemerintah, sebelum ada keputusan dari Direktur Jenderal
Pajak tentang keberatan tersebut diterima, maka wajib pajak yang mengajukan
keberatan terlebih dahulu membayar pajak sesuai dengan yang telah ditetapkan.
Hukum Pajak
yang mengatur hubungan antara pemerintah selaku pemungut pajak dengan rakyat
sebagai wajib pajak, terbagi dalam 2 ( dua ) macam hokum pajak yaitu
1.
Hukum Pajak Materiil yaitu hUkum pajak yang memuat norma-norma yang
menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hokum yang dikenai pajak
( obyek pajak ), siapa yang dikenakan pajak ( subyek pajak ), berapa besar
pajak yang dikenakan ( tarip pajak ), segala sesuatu tentang timbul dan
hapusnya utang pajak, dan sanksi-sanksi dalam hubungan hokum antara pemerintah
dengan wajib pajak.
Contoh Hukum
Pajak Materiil adalah Pajak Penghasilan ( PPh ), Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah ( PPN dan PPn BM ).
2.
Hukum Pajak Formil yaitu hukum pajak yang memuat cara-cara untuk
mewujudkan hokum pajak materiil menjadi suatu kenyataan atau realisasi. Hukum
pajak formil memuat antara lain tata cara/prosedur penetapan jumlah utang
pajak, hak-hak fiskus untuk mengadakan monitoring dan pengawasan, menentukan
kewajiban wajib pajak untuk mengadakan pembukuan atau pencatatan dan prosedur
pengajuan surat keberatan ataupun banding.
Contoh Hukum Pajak Formil adalah Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Contoh Hukum Pajak Formil adalah Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
SISTEM PAJAK
Official Assessment
System ; sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pemerintah
(petugas pajak) untuk menentukan besarnya pajak terhutang wajib pajak. Sistem
pemungutan pajak ini sudah tidak berlaku lagi setelah reformasi perpajakan pada
tahun 1984. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah (i) pajak terhutang
dihitung oleh petugas pajak, (ii) wajib pajak bersifat pasif, dan (iii) hutang
pajak timbul setelah petugas pajak menghitung pajak yang terhutang dengan
diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Self
Assessment System ; sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang
kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri, melaporkan sendiri, dan membayar
sendiri pajak yang terhutang yang seharusnya dibayar. Ciri-ciri sistem
pemungutan pajak ini adalah (i) pajak terhutang dihitung sendiri oleh wajib pajak,
(ii) wajib pajak bersifat aktif dengan melaporkan dan membayar sendiri pajak
terhutang yang seharusnya dibayar, dan (iii) pemerintah tidak perlu
mengeluarkan surat ketetapan pajak setiap saat kecuali oleh kasus-kasus
tertentu saja seperti wajib pajak terlambat melaporkan atau membayar pajak
terhutang atau terdapat pajak yang seharusnya dibayar tetapi tidak dibayar.
Withholding
System ; sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pihak lain atau
pihak ketiga untuk memotong dan memungut besarnya pajak yang terhutang oleh
wajib pajak. Pihak ketiga disini adalah pihak lain selain pemerintah dan wajib
pajak
ALASAN NEGARA MEMUNGUT
PAJAK
Pajak merupakan
hal yang sangat fundamental dalam konteks bernegara, oleh sebab itulah
konstitusi kita [UUD NRI Tahun 1945] mengaturnya dalam Pasal 23A yang berbunyi
demikian: "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang."
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui 3 hal pokok, yaitu:
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui 3 hal pokok, yaitu:
1. Pajak
diterapkan dengan disertai sifat memaksa.
2. Pajak digunakan
untuk keperluan negara.
3. Pajak harus
dengan UU.
Penjelasan :
1. Tidak ada
negara yang tidak membutuhkan dana / pembiayaan bagi kelangsungan negara atau konkritnya:
pemerintahan; oleh sebab itu rakyat sebagai komponen mutlak negara mesti
menyokongnya dan untuk itulah pajak bersifat memaksa terhadap rakyat.
2. Tentu saja
perlu diinsyafi betapa penggunaannya mesti rasional dan harus dapat
dipertanggungjawabkan agar rakyat terus menerus menyokong negara. Hal inilah
yang melatarbelakangi pandangan bahwa semua pajak hanya untuk keperluan negara.
Dalam hal ini jangan dipertentangkan antara rakyat dengan negara sebab rakyat
Indonesia sebetulnya adalah rakyat yang telah me-negara. Jadi, berbicara
tentang rakyat Indonesia sudah dengan sendirinya berbicara tentang negara
Indonesia. Nyatalah betapa pajak itu digunakan untuk keperluan rakyat Indonesia
sendiri.
3. Agar tidak
menyeleweng dan sewenang-wenang, dalam kehidupan kenegaraan pernah ditimbulkan
semboyan No Taxation Without Representation [tiada pajak tanpa perwakilan].
Artinya, terhadap pungutan pajak harus diketahui oleh representasi rakyat yaitu
lembaga perwakilan rakyat atau parleman [kalau di Indonesia lembaga negaranya
adalah DPR]. Alhasil, bentuk hukum bagi semua pajak haruslah UU sebab DPR
merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan legislatif [vide Pasal 20 (1)
UUD NRI 1945] dan demi Kepastian Hukum. Dengan demikian, sebetulnya pajak itu
dikehendaki oleh rakyat Indonesia sendiri melalui mekanisme demokrasi [yaitu
demokrasi perwakilan/representative democracy].
No comments:
Post a Comment