Monday, 30 June 2014

Kedudukan, Hukum, dan Alasan Sistem Pajak



Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, Hukum Pajak mempunyai kedudukan diantara hukum-hukum sebagai berikut :
  1. Hukum Perdata yaitu hokum yang mengatur hubungan antara satu individu     dengan individu lainnya.
  2. Hukum Publik yaitu hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum public ini terdiri dari : Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha ( Hukum Administrasi ), Hukum Pajak dan Hukum Pidana.

Dengan demikian  kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum public.
Bila didefinisikan Hukum Pajak adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyat  atau wajib pajak. Pemerintah sebagai pemungut pajak dan wajib pajak atau rakyat sebagai pembayar pajak. Hukum pajak sering juga disebut dengan hukum fiscal ( Brotodihardjo,1986 ), karena istilah pajak sering disamakan dengan istilah fiscal ( yang artinya kantong uang / keranjang uang yang selanjutnya disebut sebagai kas negara ). Dari kata fiscal tersebut maka pihak pemerintah sebagai pemungut dan mengadministrasikan pajak disebut sebagai aparat pajak atau dalam bahasa latin disebut fiscus, dan dalam bahasa Indonesia disebut dengan fiskus.
Hal-hal yang diatur dalam hokum pajak antara lain meliputi : siapa subyek pajak atau wajib pajak, apa kewajiban wajib pajak, apa hak negara/pemerintah, apa obyek yang dikenakan pajak, berapa taripnya, bagaimana cara penagihan pajaknya, apa sanksi bila tidak memenuhi kewajiban dan lain-lain.
Hukum pajak menganut “ paham imperative “ yang artinya bahwa pelaksanaan pemungutan pajak tidak dapat ditunda. Misalnya terjadi pengajuan keberatan terhadap pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sebelum ada keputusan dari Direktur Jenderal Pajak tentang keberatan tersebut diterima, maka wajib pajak yang mengajukan keberatan terlebih dahulu membayar pajak sesuai dengan yang telah ditetapkan.
Hukum Pajak yang mengatur hubungan antara pemerintah selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak, terbagi dalam 2 ( dua ) macam hokum pajak yaitu
1.    Hukum Pajak Materiil yaitu hUkum pajak yang memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hokum yang dikenai pajak ( obyek pajak ), siapa yang dikenakan pajak ( subyek pajak ), berapa besar pajak yang dikenakan ( tarip pajak ), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan sanksi-sanksi dalam hubungan hokum antara pemerintah dengan wajib pajak.
Contoh Hukum Pajak Materiil adalah Pajak Penghasilan ( PPh ), Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ( PPN dan PPn BM ).
2.    Hukum Pajak Formil yaitu hukum pajak yang memuat cara-cara untuk mewujudkan hokum pajak materiil menjadi suatu kenyataan atau realisasi. Hukum pajak formil memuat antara lain tata cara/prosedur penetapan jumlah utang pajak, hak-hak fiskus untuk mengadakan monitoring dan pengawasan, menentukan kewajiban wajib pajak untuk mengadakan pembukuan atau pencatatan dan prosedur pengajuan surat keberatan ataupun banding.
Contoh Hukum Pajak Formil adalah Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

SISTEM PAJAK
Official Assessment System ; sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pemerintah (petugas pajak) untuk menentukan besarnya pajak terhutang wajib pajak. Sistem pemungutan pajak ini sudah tidak berlaku lagi setelah reformasi perpajakan pada tahun 1984. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah (i) pajak terhutang dihitung oleh petugas pajak, (ii) wajib pajak bersifat pasif, dan (iii) hutang pajak timbul setelah petugas pajak menghitung pajak yang terhutang dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak.

Self Assessment System ; sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri, melaporkan sendiri, dan membayar sendiri pajak yang terhutang yang seharusnya dibayar. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah (i) pajak terhutang dihitung sendiri oleh wajib pajak, (ii) wajib pajak bersifat aktif dengan melaporkan dan membayar sendiri pajak terhutang yang seharusnya dibayar, dan (iii) pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak setiap saat kecuali oleh kasus-kasus tertentu saja seperti wajib pajak terlambat melaporkan atau membayar pajak terhutang atau terdapat pajak yang seharusnya dibayar tetapi tidak dibayar.

Withholding System ; sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pihak lain atau pihak ketiga untuk memotong dan memungut besarnya pajak yang terhutang oleh wajib pajak. Pihak ketiga disini adalah pihak lain selain pemerintah dan wajib pajak

ALASAN NEGARA MEMUNGUT PAJAK
Pajak merupakan hal yang sangat fundamental dalam konteks bernegara, oleh sebab itulah konstitusi kita [UUD NRI Tahun 1945] mengaturnya dalam Pasal 23A yang berbunyi demikian: "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang."
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui 3 hal pokok, yaitu:
1. Pajak diterapkan dengan disertai sifat memaksa.
2. Pajak digunakan untuk keperluan negara.
3. Pajak harus dengan UU.

Penjelasan :
1. Tidak ada negara yang tidak membutuhkan dana / pembiayaan bagi kelangsungan negara atau konkritnya: pemerintahan; oleh sebab itu rakyat sebagai komponen mutlak negara mesti menyokongnya dan untuk itulah pajak bersifat memaksa terhadap rakyat.
2. Tentu saja perlu diinsyafi betapa penggunaannya mesti rasional dan harus dapat dipertanggungjawabkan agar rakyat terus menerus menyokong negara. Hal inilah yang melatarbelakangi pandangan bahwa semua pajak hanya untuk keperluan negara. Dalam hal ini jangan dipertentangkan antara rakyat dengan negara sebab rakyat Indonesia sebetulnya adalah rakyat yang telah me-negara. Jadi, berbicara tentang rakyat Indonesia sudah dengan sendirinya berbicara tentang negara Indonesia. Nyatalah betapa pajak itu digunakan untuk keperluan rakyat Indonesia sendiri.
3. Agar tidak menyeleweng dan sewenang-wenang, dalam kehidupan kenegaraan pernah ditimbulkan semboyan No Taxation Without Representation [tiada pajak tanpa perwakilan]. Artinya, terhadap pungutan pajak harus diketahui oleh representasi rakyat yaitu lembaga perwakilan rakyat atau parleman [kalau di Indonesia lembaga negaranya adalah DPR]. Alhasil, bentuk hukum bagi semua pajak haruslah UU sebab DPR merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan legislatif [vide Pasal 20 (1) UUD NRI 1945] dan demi Kepastian Hukum. Dengan demikian, sebetulnya pajak itu dikehendaki oleh rakyat Indonesia sendiri melalui mekanisme demokrasi [yaitu demokrasi perwakilan/representative democracy].



No comments:

Post a Comment