Dilihat dari kuantitasnya, dari tahun ke tahun pendidikan
di Indonesia selalu meningkat. Namun meningkatnya kuantitas tersebut belum
diiringi dengan kualitasnya. Penulis menilai kualitas pendidikan di Indonesia,
terutama yang penulis lihat dan alami sampai saat ini masih jauh dari tujuan pendidikan
yang diharapkan. Seperti yang kita ketahui, tujuan Pendidikan Nasional adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab
kemasyarakatan dan kebangsaan. Dalam kenyataannya tujuan pendidikan tersebut masih
belum tercapai.
Banyak ditemui disekitar kita orang-orang yang notabene-nya berpendidikan atau memiliki
ijazah di Perguruan Tinggi, namun tidak berbudi pekerti luhur, bahkan
menyimpang. Banyak juga orang yang berpendidikan tinggi tapi tidak memiliki
ketrampilan sehingga tidak mendapat pekerjaan alias menganggur. Hal-hal semacam
ini membuktikan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Orang
yang berpendidikan tinggi saja kualitasnya masih diragukan, bagaimana dengan
orang yang berpendidikan rendah? Memang pendidikan tidak menjamin seseorang
untuk sukses, banyak orang-orang sukses yang berasal dari non-pendidikan.
Namun, bukan berarti pendidikan di negara kita tidak perlu diprioritaskan.
Bukankah pemerintah telah mengatur tujuan pendidikan yang begitu ideal?
Dalam praktiknya banyak ditemui anak-anak yang putus
sekolah di usia dini, karena faktor ekonomi. Memang pihak pemerintah sendiri
telah menyiapkan program-program yang membantu anak-anak yang lemah ekonomi,
seperti beasiswa, BSM, BOS, dan lain sebagainya. Namun dalam pelaksanaannya
masih belum merata dan belum tepat sasaran. Hal ini terlihat dari banyaknya
anak-anak yang tidak mampu tapi tidak mendapat bantuan dari pemerintah sehingga
ia terpaksa putus sekolah. Belum lagi dengan jutaan anak jalanan di negara kita
yang tidak mengampu pendidikan dasar. Bagaimana anak bangsa berkualitas jika
mereka tidak mengenal tulisan? Ketika membahas hal ini penulis jadi teringat
perkataan Presiden Jokowi yang mempertanyakan “Bagaimana jika obat kanker ada
pada otak anak-anak jalanan yang tidak dapat melanjutkan sekolah?”. Entahlah dengan
cara apa pemerintah mengurus anak-anak dibawah umur yang bertebaran dijalanan
itu. Yang pasti dari sekian banyaknya anak jalanan, pasti ada anak cerdas yang
bermimpi untuk bersekolah setinggi mungkin yang dapat memberi kemajuan terhadap
negara Indonesia.
Tidak hanya faktor ekonomi yang membuat anak putus sekolah,
banyak juga anak yang putus sekolah karena pernikahan dini. Disini peran
orangtua sangat penting dalam mendidik anak. Banyak orangtua yang beranggapan
bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, yang penting bisa
membaca dan menulis. Padahal mau jadi apapun nanti, selagi kita mampu tuntutlah
ilmu setinggi mungkin. Walaupun anak perempuan banyak yang berujung menjadi Ibu
rumahtangga, tapi tetap saja memerlukan arahan dalam hal pendidikan. Seperti
yang telah dijelaskan diatas, pendidikan bukan hanya teoritis, tapi juga
berperan dalam membentuk kepribadian. Bukankah perempuan yang cerdas akan
berpeluang melahirkan anak yang cerdas?
Selain itu, kualitas pendidikan juga dipengaruhi oleh
proses pembelajaran yang tidak efektif dan efesien. Proses pembelajaran di
negara kita masih berorientasi pada teoritis, hal ini mungkin disebabkan dari
padatnya kurikulum dalam pembelajaran. Anak dipaksa mengetahui dan menghafal
dengan segudang materi yang dipelajarinya, dan guru hanya sekedar memenuhi
kewajibannya dengan memberi pengetahuan, tanpa ingin tahu pemahaman anak dalam
mengaplikasikan materi yang diajarkan oleh guru tersebut. Sehingga pengetahuan
yang ditransfer dari guru tidak dapat berkembang dan ketika anak lulus dari
sekolah, banyak yang tidak mempunyai ketrampilan khusus yang pada akhirnya
menyebabkan mereka mengalami kesulitan di dunia kerja.
Proses pembelajaran juga dipengaruhi oleh sarana dan
prasarana yang memadai. Di Indonesia
sendiri pembangunan sarana dan prasarana di bidang pendidikan masih belum
merata, terutama untuk masyarakat yang berada di luar Pulau Jawa. Banyak
anak-anak yang harus melalui berbagai hambatan dan rintangan untuk sampai di
sekolahnya karna tidak adanya akses yang memudahkan mereka menuju ke sekolah. Kebanyakan
masyarakat yang tinggal di daerah terpencil harus merantau ke kota-kota besar
untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang memadai. Kalau sudah demikian,
pertumbuhan penduduk dan perkembangan pembangunan di Indonesia semakin timpang
karna semakin kompleksnya permasalahan yang disebabkan dari ketidakmerataan
pembangunan ini.
Kemudian, jika disorot dari aspek tenaga pendidik, kesejahteraan
tenaga pendidik di Indonesia masih terbilang rendah dibandingkan negara lainnya,
terutama guru honor. Miris rasanya ketika melihat nasib guru honorer di
Indonesia yang begitu memprihatinkan. Dilihat dari segi penghasilan, masih
banyak guru honorer yang berpenghasilan kurang dari Rp 500.000,00. Apalagi
untuk melangkah dari guru honorer ke guru PNS adalah hal yang sangat sulit. Media
massa seperti koran dan televisi pun sering mempublikasikan nasib guru honor
yang belum diangkat menjadi PNS dengan jangka waktu yang lama. Belum lagi, banyaknya
kasus suap menyuap, baik untuk menjadi guru honorer maupun guru PNS yang sudah
menjadi rahasia publik. Jika sudah demikian orang yang berkualitas bisa
dikalahkan dengan orang yang mempunyai banyak uang, dan bagaimana kualitas
generasi penerus bangsa di negara kita? Apakah akan semakin maju? Kalau memang
pemerintah sendiri harus menyediakan kuota Guru PNS yang sangat sedikit setiap
tahunnya, seharusnya pemerintah menetapkan UMR untuk guru honorer. Setidaknya
dengan adanya UMR untuk guru honorer, nasib guru honorer yang ada di Indonesia tidak lebih
memprihatinkan dibanding seorang buruh.
Namun disisi lain, jika melihat kualitasnya, kemampuan
tenaga pendidik di Indonesia juga belum maksimal. Seperti yang telah dibahas
diatas, banyak guru yang hanya sekedar memenuhi kewajiban tanpa ingin
mengetahui respon atau umpan balik dari anak didiknya. Padahal tugas guru yang
sebenarnya tidak sesederhana itu. Pemerintah telah mengatur melalui Undang-Undang
No. 14 Tahun 2005 yang mengemukakan bahwa guru harus memiliki 4 kompetensi,
yaitu kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian dan kompetensi
sosial. Dengan penguasaan kompetensi tersebut guru dituntut dapat membentuk
generasi penerus bangsa yang cerdas dan berkarakter, tidak hanya cerdas teori
tapi dalam aplikasi juga. Pemerintah sendiri perlu menyadarkan guru akan
pentingnya peran serta tanggungjawab guru dalam mempengaruhi kemajuan suatu
bangsa. Tidak hanya menggunakan rewards, tapi juga bisa dengan memberikan
pelatihan atau sanksi yang diberikan terhadap guru yang belum menjalankan
tugasnya dengan benar.
Penulis
berharap, kedepannya kualitas pendidikan di Indonesia semakin membaik. Dalam
hal ini tidak hanya peran pemerintah yang diperlukan, namun juga peran orang
tua, guru dan anak bangsa dalam memasuki dunia pendidikan. Dengan adanya
kerjasama yang baik antara pihak-pihak tersebut, walaupun sulit, cepat atau
lambat tujuan pendidikan akan tercapai. Maka dari itu dimulai dari kesadaran
diri sendiri, jika ada niatan untuk memajukan generasi bangsa, kita semua pasti
bisa.